BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LARAT BELAKANG
Kondisi krisis pangan di
Indonesia tahun ini cukup mengkhawatirkan. Di tengah harga pangan dunia yang
melonjak, ancaman terjadinya kekurangan pasokan kini menghantui Indonesia.
Kurangnya bahan dasar dari kebutuhan pokok masyarakat di Indonesia menjadikan
harga barang-barang pokok di Indonesia menjadi mahal sehingga masyarakat sulit
untuk memproduksinya. Kondisi tersebut tentu semakin memberatkan beban hidup
masyarakat, terutama rakyat miskin.
Kedelai sampai saat ini belum
masuk ke dalam kategori barang kebutuhan pokok. Tetapi dengan mengamati dampak
yang ditimbulkan antara lain adalah kenaikan harga tahu dan tempe – padahal
tahu dan tempe dikonumsi masyarakat banyak khususnya kelas menengah ke bawah –
maka sudah sepantasnya kalau pemerintah memasukkan kedelai ini sebagai barang
kebutuhan pokok atau kalau tidak boleh disebut barang kebutuhan pokok disebut
saja sebagai barang strategis. Barang strategis ini hendaknya juga dikendalikan
harganya.
Harga kedelai, misalnya, terus
meningkat, dari sekitar Rp 3.800 tahun lalu, kini telah mencapai Rp 6.800
bahkan hingga Rp 8.000 per kg. Kenaikan tersebut sebagai dampak pemenuhan
kebutuhan kedelai nasional masih harus diimpor, sehingga sangat rentan dengan
fluktuasi harga di pasar internasional.
Kenaikan harga kedelai, sangat
memukul rakyat miskin di Indonesia. Sebab, kedelai merupakan bahan baku utama
pembuatan tahu dan tempe, di mana sebagian besar produsennya adalah kelompok
usaha kecil dan menengah. Tak hanya perajin tahu tempe yang mengalami kesulitan
karena melonjaknya harga kedelai, konsumen rakyat kecil juga terkena dampaknya.
Dengan adanya peristiwa ini,
saya membuat sebuah karya tulis yang membahas permasalahan mengenai sebab harga
kedelai naik.
BAB 2
PEMBAHASAN
Kondisi krisis pangan di
Indonesia tahun ini cukup mengkhawatirkan. Di tengah harga pangan dunia yang
melonjak, ancaman terjadinya kekurangan pasokan kini menghantui Indonesia. Hal
itu ditandai dengan terus melonjaknya harga bahan pangan. Kondisi tersebut
tentu semakin memberatkan beban hidup masyarakat, terutama rakyat miskin.
Harga kedelai, misalnya, terus
meningkat, dari sekitar Rp 3.800 tahun lalu, kini telah mencapai Rp 5.500 per
kg bahkan hingga Rp 8.200 per kg. Kenaikan tersebut sebagai dampak pemenuhan
kebutuhan kedelai nasional masih harus diimpor, sehingga sangat rentan dengan
fluktuasi harga di pasar internasional.
Kekeringan yang terjadi di
Amerika Serikat membuat pasokan kedelai ke Indonesia terhambat karena selama
ini AS merupakan pemasok kedelai terbesar bagi Indonesia. Akibatnya, produksi
tahu dan tempe terganggu dan setelah mengalami kenaikan harga dalam beberapa
hari terakhir, sentra-sentra pembuatan tahu dan tempe akhirnya menghentikan
produksi mereka.
Produsen tahu dan tempe
merespons kenaikan harga itu dengan melakukan aksi mogok kerja. Mereka menuntut
pemerintah mengambil alih tata niaga kedelai agar dapat membantu para perajin
tahu-tempe.
Penyebab melejitnya harga
kedelai karena melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang dolar
AS. Sehingga seluruh komoditas yang diimpor terkena dampak kenaikan harga
seperti otomotif, komponen, jagung, gandum, termasuk kedelai. Untuk menurunkan
harga kedelai bukan dengan mogok produksi tahu dan tempe melainkan para perajin
yang menyesuaikan harga tahu dan tempe atau pemerintah berhasil menstabilkan
nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS.
Kondisi ini sejalan dengan
peringatan dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), bahwa tahun ini
dunia terancam krisis pangan, sebagai dampak dari perubahan iklim. Sejak tahun
lalu, harga komoditas pangan meningkat tajam, akibat kurangnya pasokan dari
seluruh dunia.
Kenaikan harga kedelai, sangat
memukul rakyat miskin di Indonesia. Sebab, kedelai merupakan bahan baku utama
pembuatan tahu dan tempe, di mana sebagian besar produsennya adalah kelompok
usaha kecil dan menengah. Tak hanya perajin tahu tempe yang mengalami kesulitan
karena melonjaknya harga kedelai, konsumen rakyat kecil juga terkena dampaknya.
Hal itu mengingat tahu dan tempe merupakan sumber gizi protein yang harganya
relatif paling terjangkau oleh daya beli masyarakat miskin.
Kebergantungan yang tinggi pada
kedelai impor, membuat para perajin tahu tempe kesulitan untuk beradaptasi
dengan kondisi harga yang tinggi. Sebab, mereka harus berhadapan dengan
kenyataan masih rendahnya daya beli mayoritas konsumen. Tidak banyak alternatif
untuk menyiasati kenaikan harga kedelai tersebut. Sampai saat ini, belum
ditemukan komoditas biji-bijian yang bisa menjadi substitusi bahan baku tahu
dan tempe, sehingga pengusaha tak kelimpungan saat harga kedelai melambung
seperti saat ini. Alhasil, upaya untuk menyiasatinya hanyalah menaikkan harga
jual atau memperkecil ukuran produk. Tentu saja hal itu akan merugikan
konsumen, yang umumnya rakyat kecil.
Dampak dari melambungnya harga
kedelai sungguh nyata. Gabungan Koperasi Perajin Tahu Tempe Indonesia
(Gakopttindo) mencatat, dari sekitar 115.000 perajin tahu tempe di Indonesia,
5.000 di antaranya telah gulung tikar. Mereka yang terpaksa menutup usahanya
adalah pengusaha kecil dan menengah yang umumnya mempekerjakan dua hingga tiga
tenaga kerja. Dari situ terlihat bahwa dampaknya puluhan ribu orang menganggur,
dan masih banyak lainnya yang terancam bernasib sama. Banyaknya pengangguran
akibat kenaikan barang-barang pokok menambah ketentraman Negara Indonesia
semakin sulit terwujud.
Selama ini, kebutuhan kedelai
untuk 115.000 pengusaha tahu tempe mencapai 1,5 juta ton atau sekitar 1,5
miliar kg per tahun. Jika kenaikan harga kedelai rata-rata Rp 2.000 per kg,
berarti ada Rp 3 triliun, atau rata-rata Rp 30 juta per pengusaha per tahun,
yang seharusnya menjadi pendapatan mereka. Gambaran ini tentu sangat merugikan.
Secara umum, kenaikan harga
kedelai juga sangat berpotensi mendorong laju inflasi tahun ini. Sejak awal Badan
Pusat Statistik (BPS) mengingatkan potensi inflasi tinggi 6,96 persen,
melampaui target pemerintah 5,3 persen. Faktor pemicunya adalah lonjakan harga
beras. Kondisi tersebut berlanjut pada Januari 2011, di mana BPS mencatat
inflasi bulanan mencapai 0,89 persen, dan inflasi year on year mencapai 7,02
persen. Dari laju inflasi 0,89 persen tersebut, komponen bahan makanan
menyumbang 0,57 persen, jauh di atas komponen inflasi lainnya.
Berikut ini adalah kasus yang
saya temukan tentang pengrajin tempe yang gulung tikar. Sebut saja beliau Bapak
Surahman. Beliau mengaku sudah menjadi pengrajin tempe selama 20 tahun. Tapi 2
tahun terakhir ini beliau merasa kesulitan untuk mendapatkan bahan baku kedelai
yang biasa beliau pesan di tempat langganannya di pasar terdekat. Diakibatkan
harga kedelai melonjak drastis. Sehingga tidak terjadi keseimbangan antara
modal yang dikeluarkan dengan laba yang diperoleh. Bapak Surahman mengadu bahwa
beliau selalu mengalami kerugian setiap memproduksi tempe. Akhirnya beliau
memutuskan untuk menghentikan pekerjaannya dan mencari pekerjaan lain.
Dapat kita pelajari dari kasus
tersebut. Bapak Surahman yang kesulitan mendapatkan kedelai karena harga
perkilonya yang mahal mengharuskan beliau untuk gulung tikar. Bisa kita
tanggapi bahwa memang benar penyebab Bapak Surahman gulung tikar adalah bahan
baku yang mahal. Tapi bisa juga itu adalah kesalahan masyarakat sendiri yang
lebih memilih untuk memanfaatkan produk impor daripada produk local.
Melihat kenyataan tersebut, tak
tertutup kemungkinan ke depan kedelai akan memicu lonjakan inflasi kelompok
bahan pangan, yang pada akhirnya mendorong laju inflasi secara keseluruhan.
Tentu saja ancaman tersebut adalah kabar buruk bagi perekonomian nasional.
Rakyat akan semakin menjerit akibat beban hidup yang bertambah berat. Pengusaha
pun terhimpit oleh biaya produksi yang tinggi dan menurunnya daya beli
konsumen.
Mencermati hal itu, pemerintah
harus turun tangan untuk menurunkan harga kedelai, guna menyelamatkan para
perajin tahu dan tempe, serta menjamin sumber gizi protein murah bagi
masyarakat. Setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan pemerintah:
Pertama, menugasi Perum Bulog
untuk kembali menangani pengadaan kedelai. Sebab, dikhawatirkan lonjakan
harganya saat ini akibat ulah importir yang mempermainkan harga. Jika ditangani
Bulog, pemerintah bisa ikut campur menstabilkan harga jika sewaktu-waktu harga
melambung.
Kedua, pemerintah harus
memastikan kebijakan penghapusan bea masuk 59 komoditas bahan pangan yang
dikeluarkan akhir Januari lalu segera terealisasi. Jangan sampai kebijakan yang
sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan pangan itu tak terimplementasi di
lapangan.
Ketiga, pemerintah, melalui
Kementerian Pertanian, harus mulai memikirkan upaya meningkatkan produktivitas
kedelai di dalam negeri, mengingat komoditas tersebut sangat terkait dengan
hajat hidup rakyat kebanyakan. Hal itu juga mengingat kedelai adalah sumber
gizi protein yang murah. Selain itu, Kementerian Pertanian perlu memikirkan dan
memasyarakatkan komoditas biji-bijian lain yang bisa menjadi substitusi dari
kedelai dalam proses produksi tahu dan tempe. Ini penting menjadi alternatif
solusi bagi perajin tahu dan tempe.
BAB 3
KESIMPULAN
Kenaikan harga kedelai, sangat
memukul rakyat miskin di Indonesia.Harga kedelai dipasar dunia sedang meningkat
seiring dengan kecenderungan peningkatan permintaan. Kunci untuk mengatasi
masalah itu adalah harus ada tambahan pasokan kedelai. Menambah pasokannya
dengan cara mengimpor kedelai dari Amerika. Namun jika terlalu bergantung pada
impor kedelai maka akan sangat merugikan petani kedelai dalam negeri dan juga
harga kedelai yang akan semakin tinggi. Maka pemerintah memberikan solusi untuk
mengatasi masalah kenaikan harga kedelai ini dengan melibatkan kembali Perum
Bulog dalam ketataniagaan kedelai, merubah kebijakan impor dari kuota menjadi
tarif, dan mencari bahan baku yang bisa di subtitusi dengan kedelai.
Sumber :