Kamis, 14 November 2013

HARGA KEDELAI NAIK, PERAJIN TEMPE BINGUNG


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LARAT BELAKANG
Kondisi krisis pangan di Indonesia tahun ini cukup mengkhawatirkan. Di tengah harga pangan dunia yang melonjak, ancaman terjadinya kekurangan pasokan kini menghantui Indonesia. Kurangnya bahan dasar dari kebutuhan pokok masyarakat di Indonesia menjadikan harga barang-barang pokok di Indonesia menjadi mahal sehingga masyarakat sulit untuk memproduksinya. Kondisi tersebut tentu semakin memberatkan beban hidup masyarakat, terutama rakyat miskin.
Kedelai sampai saat ini belum masuk ke dalam kategori barang kebutuhan pokok. Tetapi dengan mengamati dampak yang ditimbulkan antara lain adalah kenaikan harga tahu dan tempe – padahal tahu dan tempe dikonumsi masyarakat banyak khususnya kelas menengah ke bawah – maka sudah sepantasnya kalau pemerintah memasukkan kedelai ini sebagai barang kebutuhan pokok atau kalau tidak boleh disebut barang kebutuhan pokok disebut saja sebagai barang strategis. Barang strategis ini hendaknya juga dikendalikan harganya.
Harga kedelai, misalnya, terus meningkat, dari sekitar Rp 3.800 tahun lalu, kini telah mencapai Rp 6.800 bahkan hingga Rp 8.000 per kg. Kenaikan tersebut sebagai dampak pemenuhan kebutuhan kedelai nasional masih harus diimpor, sehingga sangat rentan dengan fluktuasi harga di pasar internasional.
Kenaikan harga kedelai, sangat memukul rakyat miskin di Indonesia. Sebab, kedelai merupakan bahan baku utama pembuatan tahu dan tempe, di mana sebagian besar produsennya adalah kelompok usaha kecil dan menengah. Tak hanya perajin tahu tempe yang mengalami kesulitan karena melonjaknya harga kedelai, konsumen rakyat kecil juga terkena dampaknya.
Dengan adanya peristiwa ini, saya membuat sebuah karya tulis yang membahas permasalahan mengenai sebab harga kedelai naik.




BAB 2
PEMBAHASAN
Kondisi krisis pangan di Indonesia tahun ini cukup mengkhawatirkan. Di tengah harga pangan dunia yang melonjak, ancaman terjadinya kekurangan pasokan kini menghantui Indonesia. Hal itu ditandai dengan terus melonjaknya harga bahan pangan. Kondisi tersebut tentu semakin memberatkan beban hidup masyarakat, terutama rakyat miskin.
Harga kedelai, misalnya, terus meningkat, dari sekitar Rp 3.800 tahun lalu, kini telah mencapai Rp 5.500 per kg bahkan hingga Rp 8.200 per kg. Kenaikan tersebut sebagai dampak pemenuhan kebutuhan kedelai nasional masih harus diimpor, sehingga sangat rentan dengan fluktuasi harga di pasar internasional.
Kekeringan yang terjadi di Amerika Serikat membuat pasokan kedelai ke Indonesia terhambat karena selama ini AS merupakan pemasok kedelai terbesar bagi Indonesia. Akibatnya, produksi tahu dan tempe terganggu dan setelah mengalami kenaikan harga dalam beberapa hari terakhir, sentra-sentra pembuatan tahu dan tempe akhirnya menghentikan produksi mereka.
Produsen tahu dan tempe merespons kenaikan harga itu dengan melakukan aksi mogok kerja. Mereka menuntut pemerintah mengambil alih tata niaga kedelai agar dapat membantu para perajin tahu-tempe.
Penyebab melejitnya harga kedelai karena melemahnya nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang dolar AS. Sehingga seluruh komoditas yang diimpor terkena dampak kenaikan harga seperti otomotif, komponen, jagung, gandum, termasuk kedelai. Untuk menurunkan harga kedelai bukan dengan mogok produksi tahu dan tempe melainkan para perajin yang menyesuaikan harga tahu dan tempe atau pemerintah berhasil menstabilkan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar AS.
Kondisi ini sejalan dengan peringatan dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), bahwa tahun ini dunia terancam krisis pangan, sebagai dampak dari perubahan iklim. Sejak tahun lalu, harga komoditas pangan meningkat tajam, akibat kurangnya pasokan dari seluruh dunia.
Kenaikan harga kedelai, sangat memukul rakyat miskin di Indonesia. Sebab, kedelai merupakan bahan baku utama pembuatan tahu dan tempe, di mana sebagian besar produsennya adalah kelompok usaha kecil dan menengah. Tak hanya perajin tahu tempe yang mengalami kesulitan karena melonjaknya harga kedelai, konsumen rakyat kecil juga terkena dampaknya. Hal itu mengingat tahu dan tempe merupakan sumber gizi protein yang harganya relatif paling terjangkau oleh daya beli masyarakat miskin.
Kebergantungan yang tinggi pada kedelai impor, membuat para perajin tahu tempe kesulitan untuk beradaptasi dengan kondisi harga yang tinggi. Sebab, mereka harus berhadapan dengan kenyataan masih rendahnya daya beli mayoritas konsumen. Tidak banyak alternatif untuk menyiasati kenaikan harga kedelai tersebut. Sampai saat ini, belum ditemukan komoditas biji-bijian yang bisa menjadi substitusi bahan baku tahu dan tempe, sehingga pengusaha tak kelimpungan saat harga kedelai melambung seperti saat ini. Alhasil, upaya untuk menyiasatinya hanyalah menaikkan harga jual atau memperkecil ukuran produk. Tentu saja hal itu akan merugikan konsumen, yang umumnya rakyat kecil.
Dampak dari melambungnya harga kedelai sungguh nyata. Gabungan Koperasi Perajin Tahu Tempe Indonesia (Gakopttindo) mencatat, dari sekitar 115.000 perajin tahu tempe di Indonesia, 5.000 di antaranya telah gulung tikar. Mereka yang terpaksa menutup usahanya adalah pengusaha kecil dan menengah yang umumnya mempekerjakan dua hingga tiga tenaga kerja. Dari situ terlihat bahwa dampaknya puluhan ribu orang menganggur, dan masih banyak lainnya yang terancam bernasib sama. Banyaknya pengangguran akibat kenaikan barang-barang pokok menambah ketentraman Negara Indonesia semakin sulit terwujud.
Selama ini, kebutuhan kedelai untuk 115.000 pengusaha tahu tempe mencapai 1,5 juta ton atau sekitar 1,5 miliar kg per tahun. Jika kenaikan harga kedelai rata-rata Rp 2.000 per kg, berarti ada Rp 3 triliun, atau rata-rata Rp 30 juta per pengusaha per tahun, yang seharusnya menjadi pendapatan mereka. Gambaran ini tentu sangat merugikan.
Secara umum, kenaikan harga kedelai juga sangat berpotensi mendorong laju inflasi tahun ini. Sejak awal Badan Pusat Statistik (BPS) mengingatkan potensi inflasi tinggi 6,96 persen, melampaui target pemerintah 5,3 persen. Faktor pemicunya adalah lonjakan harga beras. Kondisi tersebut berlanjut pada Januari 2011, di mana BPS mencatat inflasi bulanan mencapai 0,89 persen, dan inflasi year on year mencapai 7,02 persen. Dari laju inflasi 0,89 persen tersebut, komponen bahan makanan menyumbang 0,57 persen, jauh di atas komponen inflasi lainnya.
Berikut ini adalah kasus yang saya temukan tentang pengrajin tempe yang gulung tikar. Sebut saja beliau Bapak Surahman. Beliau mengaku sudah menjadi pengrajin tempe selama 20 tahun. Tapi 2 tahun terakhir ini beliau merasa kesulitan untuk mendapatkan bahan baku kedelai yang biasa beliau pesan di tempat langganannya di pasar terdekat. Diakibatkan harga kedelai melonjak drastis. Sehingga tidak terjadi keseimbangan antara modal yang dikeluarkan dengan laba yang diperoleh. Bapak Surahman mengadu bahwa beliau selalu mengalami kerugian setiap memproduksi tempe. Akhirnya beliau memutuskan untuk menghentikan pekerjaannya dan mencari pekerjaan lain.
Dapat kita pelajari dari kasus tersebut. Bapak Surahman yang kesulitan mendapatkan kedelai karena harga perkilonya yang mahal mengharuskan beliau untuk gulung tikar. Bisa kita tanggapi bahwa memang benar penyebab Bapak Surahman gulung tikar adalah bahan baku yang mahal. Tapi bisa juga itu adalah kesalahan masyarakat sendiri yang lebih memilih untuk memanfaatkan produk impor daripada produk local.
Melihat kenyataan tersebut, tak tertutup kemungkinan ke depan kedelai akan memicu lonjakan inflasi kelompok bahan pangan, yang pada akhirnya mendorong laju inflasi secara keseluruhan. Tentu saja ancaman tersebut adalah kabar buruk bagi perekonomian nasional. Rakyat akan semakin menjerit akibat beban hidup yang bertambah berat. Pengusaha pun terhimpit oleh biaya produksi yang tinggi dan menurunnya daya beli konsumen.
Mencermati hal itu, pemerintah harus turun tangan untuk menurunkan harga kedelai, guna menyelamatkan para perajin tahu dan tempe, serta menjamin sumber gizi protein murah bagi masyarakat. Setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan pemerintah:
Pertama, menugasi Perum Bulog untuk kembali menangani pengadaan kedelai. Sebab, dikhawatirkan lonjakan harganya saat ini akibat ulah importir yang mempermainkan harga. Jika ditangani Bulog, pemerintah bisa ikut campur menstabilkan harga jika sewaktu-waktu harga melambung.
Kedua, pemerintah harus memastikan kebijakan penghapusan bea masuk 59 komoditas bahan pangan yang dikeluarkan akhir Januari lalu segera terealisasi. Jangan sampai kebijakan yang sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan pangan itu tak terimplementasi di lapangan.
Ketiga, pemerintah, melalui Kementerian Pertanian, harus mulai memikirkan upaya meningkatkan produktivitas kedelai di dalam negeri, mengingat komoditas tersebut sangat terkait dengan hajat hidup rakyat kebanyakan. Hal itu juga mengingat kedelai adalah sumber gizi protein yang murah. Selain itu, Kementerian Pertanian perlu memikirkan dan memasyarakatkan komoditas biji-bijian lain yang bisa menjadi substitusi dari kedelai dalam proses produksi tahu dan tempe. Ini penting menjadi alternatif solusi bagi perajin tahu dan tempe.



BAB 3
KESIMPULAN
Kenaikan harga kedelai, sangat memukul rakyat miskin di Indonesia.Harga kedelai dipasar dunia sedang meningkat seiring dengan kecenderungan peningkatan permintaan. Kunci untuk mengatasi masalah itu adalah harus ada tambahan pasokan kedelai. Menambah pasokannya dengan cara mengimpor kedelai dari Amerika. Namun jika terlalu bergantung pada impor kedelai maka akan sangat merugikan petani kedelai dalam negeri dan juga harga kedelai yang akan semakin tinggi. Maka pemerintah memberikan solusi untuk mengatasi masalah kenaikan harga kedelai ini dengan melibatkan kembali Perum Bulog dalam ketataniagaan kedelai, merubah kebijakan impor dari kuota menjadi tarif, dan mencari bahan baku yang bisa di subtitusi dengan kedelai.

Sumber :