Mengapa Korupsi Sulit
Di Berantas ?
Kasus
korupsi di Indonesia seakan sulit dihentikan. Hampir setiap hari, masyarakat
disuguhkan pemberitaan mengenai kasus korupsi. Mengapa korupsi di Indonesia
sulit diberantas?
Meski
upaya pemberantasan korupsi gencar dilaksanakan, tetapi kondisi tidak
kunjung membaik. Korupsi merupakan isu multidimensional yang mempunyai komponen
politik, ekonomi, sosial dan budaya, yang sering melibatkan para pemegang
kekuasaan, sehingga memberantas korupsi bukanlah perkara mudah.
Korupsi
merupakan kejahatan yang sulit diungkap, karena korupsi melibatkan dua pihak
yaitu koruptor dan klien yang sering keduanya berupaya untuk menyembunyikan
kejadian tersebut, mengingat manfaat besar korupsi bagi mereka dan/atau risiko
hukum atau sosial apabila tindakan mereka terungkap.
Sama
dengan virus influenza yang mempunyai puluhan ribu strain/jenis yang terus
berkembang dalam hal jumlah, korupsi juga memiliki ribuan modus yang terus
bertambah seiring dengan perkembangan jaman. Walaupun virus influenza
sebenarnya relatif mudah untuk dicegah, tetapi jumlah strain yang begitu banyak
membuat upaya pemberantasan menjadi mahal dan tidak praktis.
Mengapa korupsi sulit di berantas?
Korupsi
memang menjadi momok bagi semua aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
tidak hanya aspek ekonomi melainkan aspek politis pendidikan, kesehatan,
kesejahteraan dan lainnya. Yang paling parah adalah dengan maraknya budaya
korupsi moral dan akhlak suatu bangsa bisa sangat rusak karena hal tersebut
sama halnya dengan mengisap darah kaum miskin dan rakyat pada umumnya. Oleh
karenanya kenapa kita semua menginginkan praktek korupsi bisa diberantas habis
sampai ke akar-akarnya dari bumi pertiwi yang tercinta ini.
Namun
sejauh ini kenapa upaya pemberantasan korupsi sangat sulit dicapai, pasti
selalu ada saja pihak yang merasa dirugikan dengan adanya upaya pemberantasan
korupsi, siapa mereka tentunya mereka adalah pihak-pihak yang selama ini
diuntungkan oleh praktek korupsi.
Pertanyaan tersebut menghinggapi
banyak kalangan sampai saat ini. Berbagai komentar dari berbagai kalangan baik
dari pejabat, politisi, hukum dan akademisi setiap hari menghiasi mulai dari
media cetak sampai online. Akan tetapi seolah pemerintah bergeming dan
pemberantasan korupsi seolah berjalan di tempat.
Hukuman Kurang Tegas
Perlu diakui bahwa pemerintah hanya memberikan hukuman
ringan kepada koruptor. Jika dibandingkan dengan negara lain, hukuman terhadap
koruptor di Indonesia ini tergolong sangat ringan. Di Cina, koruptor akan
dipenggal kepalanya. Di Arab Saudi, koruptor mendapatkan hukuman potong tangan
sesuai dengan syariat Islam. Tanpa hukuman yang tegas dan berat, tidak ada efek
jera. Koruptor pun masih merasa tenang meskipun dijatuhi hukuman penjara. Toh,
mereka masih bisa bebas lagi setelah dikeluarkan dari penjara.
Jika Indonesia mau menetapkan hukuman yang tegas terhadap
koruptor (seperti hukuman mati), kemungkinan besar kasus korupsi akan turun
drastis. Dengan hukuman tersebut, calon koruptor tentu akan berpikir seribu
kali sebelum melakukan kejahatannya.
Korupsi
Dilakukan Secara Sistematis
Tindakan korupsi tidak mungkin bisa terlaksana jika hanya
dilakukan sepihak. Seorang koruptor pasti bekerjasama dengan komplotannya untuk
mengeruk uang rakyat. Selain itu, korupsi dilakukan di mana saja selama tempat
itu mempunyai ‘potensi’ yang bisa dimanfaatkan. Korupsi bisa ditemukan di
sekolah, lembaga pemerintahan, dan tempat lainnya.
Korupsi bisa dilakukan di mana saja, termasuk di sekolah
tempat kita menuntut ilmu. Kesempatan untuk korupsi bisa didapatkan mulai dari
saat siswa masuk sekolah sampai kelulusannya. Untuk penerimaan siswa baru,
sekolah favorit tidak segan-segan meminta ‘uang sumbangan’ dalam jumlah besar.
Orang tua siswa yang memberikan uang lebih besar mempunyai peluang untuk
diterima yang lebih besar juga. Jumlahnya bisa mencapai puluhan juta. Bahkan,
biaya masuk untuk SMA saja bisa lebih besar daripada perguruan tinggi. Sekolah
sendiri mempunyai ‘dalih’ tersendiri untuk menjustifikasi tindakan pemerasan
terselubung tersebut.
Adanya
Upaya untuk Balas Dendam
Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk menjadi PNS
diperlukan uang ‘sogokan’. Tidak semua PNS melakukan tindakan hina ini, tetapi
tindakan ini tentu saja mencorong reputasi dan kredibilitas PNS sebagai abdi
negara. Seorang calon PNS harus membayar uang sogokan dalam jumlah puluhan
sampai ratusan juta rupiah jika ingin jalannya dimudahkan. Jika dibandingkan
dengan gaji PNS, jumlah uang sogokan tersebut tentunya jauh lebih besar. Namun,
mereka yang benar-benar ingin menjadi PNS secepatnya tidak akan segan-segan
untuk mebayar sogokan tersebut. Jika PNS tersebut masuk dengan cara yang tidak
benar, hal ini bisa menjadi justifikasi bagi mereka untuk bekerja seenaknya.
Toh, mereka sudah bayar mahal untuk menjadi PNS. Gajinya pun tidak sebanding
dengan sogokan mereka. Selain itu, uang sogokan tersebut juga bisa menjadi
‘cambuk’ untuk mengambil uang rakyat untuk menutupi kerugian mereka. Jika gaji
bulanan tidak bisa menutupi uang sogokan tersebut, uang rakyatlah yang menjadi
sasaran.
Menurut saya, selain alasan diatas banyak faktor yang mempengaruhi sulitnya memberantas korupsi di indonesia diantaranya terlalu ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa korupsi. Ya, memang hukuman bagi kaum korupsi di indonesia tidak sebanding dengan perbuatannya yang hanya dihukum beberapa tahun saja, jarang yang dikenakan hukum sampai puluhan tahun. Jika pemerintah serius dan berani, berlakukanlah hukuman mati bagi para koruptor seperti yang dilakukan oleh negara china. China tidak hanya menghukum mati koruptor kelas bawah tapi mereka juga berani menghukum mati koruptor sekelas menteri jika memang dia bersalah. Dengan melihat keadaan hukum di negara kita seperti itu, bukan tidak mungkin sebagian orang berfikir melakukan korupsi adalah sebagai profesi baru atau lapangan kerja baru yang menghasilkan banyak uang dengan mudah dan cepat, dan kalaupun ketahuan hukumannya pun tidak sampai puluhan tahun. Dan setelah bebas mereka pun masih tetap kaya dari sisa hasil uang korupsi yang masih banyak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar