My
First Love
Aku
baru duduk di kelas lima SD saat itu
umurku mungkin baru 10-11 tahun. Aku bertemu dengannya saat ada acara
tujuh belas agustus di lapangan dekat rumah ku dan rumahnya. Saat itu dia
sedang bersama teman-temannya, bisa dibilang genknya. Karena pada waktu itu
sedang model genk (kelomopok-kelompok kecil). Aku mengira dia juga mengenalku
karena ini bukan pertama kalinya kami bertemu. Mataku selalu memperhatikannya
dan aku juga berusaha mengambil perhatiannya dengan cara mendekatinya sedikit
demi sedikit.pertama kali aku bertemu dengannya adalah disaat bulan ramadhan.
Aku selalu solat terawih di masjid sudirman. Letaknya cukup jauh dari rumahku.
Disana lah dan diwaktu itulah aku bertemu dengannya. Saat mata bertemu mata,
disanalah aku merasakan rasa yang aneh.
Rasa yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Rasa itu membuatku selalu
ingi melihatnya dan aku selalu ingin terlihat dihadapannya. Selama bulan
ramadhan itu aku selalu solat terawih di masjid yang sama dengannya. Alasanku
adalah supaya selalu bisa melihatnya. Setiap aku melihatnya dia selalu bersama
genk kecilnya itu. Itu membuatku terganggu dengan kehadiran teman-temannya itu.
Aku mulai sadar dengan perasaan yang aneh ini. Aku tau aku mulai menyukainya.
Aku
belum tahu namanya dan dimana dia tinggal sampai malam terakhir terawih.
Setelah malam terakhir itu aku tidak pernah bertemu dengannya lagi. Aku selalu
menulis diary dan menuliskan “si putih” sebutanku untuknya karena aku belum
tahu namanya dan saat aku bertemu dengannya di acara tujuh belasan dia
mengenakan kaos putih dan membawa sarung yang biasa dia gunakan untuk “tawuran
sarung” yang saat itu sedang booming dikalangan anak-anak.
Pada
suatu waktu aku tidak sengaja bertemu dengannya. Sepertinya dia baru pulang
dari sekolah. Dan akhirnya aku tahu dia bersekolah si SD mana. Ternyata
sekolahnya tidak jauh dari rumahku yang artinya dia mungkin selalu melewati
rumahku untuk mencapai sekolahnya. Keesokan akhirnya aku menunggu di depan
jendela rumahku dan berharap dia lewat. Tidak lama kemudian dia berjalan
melewati depan rumahku. Saat itu aku senang sekali karena bisa melihatnya
walaupun hanya sekilas. Aku mengingat jam berapa dia biasa lewat supaya aku
bisa melihatnya lagi. Keesokan harinya lagi, aku mencoba untuk membuatnya ingat
padaku lagi. Aku menunggpu di pinggir lapangan yang juga biasa dia lewati saat
berangkat sekolah. Aku memakai pakaian yang aku pakai saat acara tujuh belasan
itu. Tapi saat dia lewat dia, dia tidak menoleh sedikitpun kearahku, padahal
aku sudah terseyum semanis mungkin saat itu. Usaha ku untuk membuatnya ingat
padaku sia-sia.
Aku
merasa tidak ada kesempatan untuk aku bisa mengenalnya lebih jauh. Aku
memutuskan untuk tidak memikirkannya lagi. Waktu terus berlalu, mungkin sudah
lewat dua tahun saat aku bertemu dengannya.
Aku
masuk ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi lagi. Aku sekarang adalah murid
SMP dari sebuah SMP Negeri di daerah rumahku. Saat aku mulai menjadi seorang
murid SMP, aku mengalami hal yang kurang beruntung. Saat angkatanku masuk,
ternyata sekolah ku sedang dalam pembangunan. Itu membuat kami sebagai angkatan
baru dan angkatan-angkatan sebelumnya numpang di sekolah dasar yang letaknya
tidak jauh dari sekolah kami. Aku tidak pernah berharap dan menyangka akan
bertemu dengannya lagi di sekolah ini. Ternyata aku bersekolah di SMP yang sama
dengannya. Dia adalah kakak kelasku. Aku merasa ini kebetulan apa memang kami
seharusnya bertemu. Saat aku melihatnya di gedung yang sama denganku, itu
membuat perasaan yang telah lama hilang itu muncul lagi, dan perasaan itu mulai
menemukan titik terang. Mungkin ini bukan lagi harapan tapi kenyataan yang
memang ada dan menghampiriku. Aku mulai lagi mencari tahu tentangnya. Dikelas
berapa dia belajar, nomor absennya berapa, nama lengkapnya siapa, ekskul apa
yang dia ikuti.
Mataku
selalu memperhatikan kemana langkahnya pergi. Saat ada kesempatan untuk
mendekatinya, aku tidak buang-buang kesempatan itu. Misalnya saat istirahat,
dia sedang jajan apa, aku juga ikut membeli jajanan itu supaya aku bisa
bersebelahan dengannya walaupun sebentar. Ada saat dimana aku bisa pulang dan
satu angkot dengannya, walaupun dia tidak sadar akan kehadiranku diangkot itu.
Akhirnya aku tau dimana dia tinggal. Rumahnya hanya berbeda RT saja denganku. Sepanjang
perjalanan pulang aku selalu tersenyum karena senang bisa melihatnya dari dekat
walaupun dari belakang. Saat dirumah pun aku masih memikirkannya, berharap bisa
bertemu lagi saat aku berangkat ataupun pulang sekolah.
Keesokan
harinya di sekolah, saat jam pelajaran olahraga, aku bersama beberapa teman ku
duduk di pinggiran lapangan sekolah. Memerhatikan murid lain yang juga sedang
berolahraga. Ada sosok yang aku kenal diantara murid-murid yang sedang
berolahraga itu. Semakin aku perhatikan ternyata sosok itu adalah dia. Ternyata
jam pelajaran olahraga kami sama, jadi aku bisa selalu melihatnya saat
pelajaran olahraga berlangsung. Hal yang
paling aku suka saat melihatnya adalah saat dia terseyum lepas, saat dia
tersenyum aka nada dua buah lesung di pipi kana dan kirinya. Itulah yang
membuatnya terlihat manis. Ada satu hal lagi yang menjadi cirri khasnya, yaitu
dia selalu memakai topi yang ujungnya selalu ia lipat kedalam supaya menjadi
lengkungan dalam. Aku selalu berpikir ingin membelikannya sebuah topi yang
mungkin bisa dia pakai dan menggantikan topinya yang lama itu.
Sudah
hampir satu semester aku menjadi siswi SMP dan bersekolah di sekolah yang sama
dengannya tapi aku masih belum tahu siapa namanya. Yang aku tahu hanya nama
panggilannya yaitu, Rio. Aku tahu karena teman-temannya selalu memanggilnya
dengan nama Rio. Saat-saat itulah yang membuatku semakin penasaran dan semakin
ingin tahu tentangnya. Mungkin ini kesempatan yang diberikan tuhan padaku, aku
tidak sengaja masuk kekelas 3-5, itu adalah kelasnya. Saat itu kelasnya kosong
karena sudah jam pulang sekolah. Aku tidak sengaja menemukan absen kelasnya.
Dan disana aku tahu kalo nama lengkapnya adalah, Satrio Mugo Diarto, itulah
nama cinta pertamaku. Namanya cukup bagus, mungkin dia memang seorang satria di
hatiku. Saat aku menemukan absen itu, aku langsung mencatat nama lengkapnya dan
nomor absennya. Hari itu rasanya benar-benar menjadi hari keberuntunganku. Dari
pulang sekolah samapi dirumah, dari sore sampai malam hanya nama itu yang aku
pikirkan, Satrio Mugo Diarto.
Aku
berharap dia juga melakukan hal sama seperti yang aku lakukan untuk bisa
mengenalnya. Tapi sayang, aku telat bertemu dengannya, telat mengenalnya. Dia
ternyata sudah memiliki dambaan hatinya. Saat aku mendengar dia sudah mempunyai
pacar aku langsung mencarinya agar aku bisa melihat sendiri. Ternyata memang
benar dia sudah punya pacar. Rasanya hati ini berasa dibagi dua bagian saat
melihat kebersamaan dia dan pasangannya itu. Aku merasa hancur, dan menyalahkan
diriku sendiri. Usaha-usahaku selama ini untuk menarik perhatiannya, mencari
tahu siapa dia, itu semuanya hanya sia-sia. Aku tidak bisa dekat dengannya
lagi. Rasanya saat memandang dia itu adalah dosa sekarang. Aku memutuskan
menghentikan usahaku untuk bisa menjadi orang yang bisa dekat dengannya. Aku
mulai menjauh saat aku bertemu dengannya, aku berusaha memalingkan wajahku
supaya aku tidak melihatnya.
Tiba
saat dia harus meninggalkan sekolah ini karena dia sudah lulus dari sekolah
menengah pertama dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Terakhir kalinya
aku melihatnya adalah saat dia mengambil ijazah di sekolah. Saat itu aku
melihat senyumnya yang lebar. Tanpa aku sadari, aku ikut tersenyum saat melihat
senyumnya. Saat aku memikirkan dan berharap dia melihatku, itu pun terjadi. Dia
melihat kearahku, aku pun melihat kearahnya. Saat mataku bertemu matanya aku
berharap dia bisa tahu perasaan yang aku simpan untuknya. Namun sayang, kontak
mata yang kami lakukan tidak lama, karena ada seseorang yang memanggilnya.
Seseorang itu adalah pacarnya. Saat itu aku berdoa dan berharap sekali dia
memutuskan pacarnya dan berlari kearahku dan mengungkapkan rasa yang sama
seperti yang aku rasakan.
Setelah
dia lulus aku menjadi kurang semangat kerana tidak ada lagi yang bisa membuatku
semangat sekolah. Tidak ada lagi yang bisa aku perhatikan disekolah ini. Aku
berharap bisa bertemu dengannya lagi walaupun berbeda sekolah sekarang. Setiap
pulang sekolah aku selalu melewati rumahnya dan berharap ada dia sedang berdiri
di depan rumahnya.
Sayang,
semakin aku berharap semakin sakit hati ini. Aku tidak pernah bertemu dengannya
lagi. Aku berpikir untuk menjadikannya sebagai cerita cinta monyetku di SMP.
Dan menjadikannya cinta pertamaku yang selalu aku ingat sampai sekarang,
“Satrio Mugo Diarto”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar